Oleh Nurhilaliyah )*
Di tengah lautan ilmu pengetahuan, lingkungan pendidikan seharusnya menjadi ladang subur yang menghasilkan generasi penerus yang terdidik, berpikiran terbuka, dan mampu membedakan antara yang baik dan yang buruk. Namun, sayangnya, arus radikalisme telah menemukan celahnya masuk ke dalam lingkungan ini, mengancam integritas dan tujuan mulia pendidikan itu sendiri.
Radikalisme, dalam konteks ini, bukanlah sekadar pemahaman agama atau ideologi yang kuat. Ini lebih merupakan pandangan ekstrem yang mengekang kebebasan berpikir, menghambat toleransi, dan mengancam keamanan baik fisik maupun mental individu serta masyarakat. Pendidikan, yang seharusnya menjadi panggung kemajuan dan toleransi, kini terancam oleh kehadiran radikalisme.
Salah satu bahaya utama dari penyebaran radikalisme di lingkungan pendidikan adalah pengaruhnya terhadap generasi muda yang rentan. Anak-anak dan remaja, yang masih dalam masa pembentukan kepribadian dan pandangan dunia, rentan terhadap pengaruh eksternal yang kuat. Jika radikalisme dibiarkan berkembang dalam lingkungan pendidikan, mereka dapat terjerumus ke dalam pemikiran sempit yang memicu tindakan ekstrem yang merugikan diri sendiri dan masyarakat.
Tidak hanya itu, penyebaran radikalisme juga mengancam kebebasan akademik.
Pendidikan yang seharusnya menjadi tempat di mana ide-ide dipertukarkan dan dipelajari dengan bebas, kini terpengaruh oleh ketakutan akan ide-ide radikal yang menghambat diskusi terbuka dan kritis. Hal ini tidak hanya merugikan proses pembelajaran, tetapi juga menghalangi perkembangan ilmu pengetahuan dan pemikiran yang progresif.
Selain itu, radikalisme di lingkungan pendidikan juga memperburuk polarisasi sosial. Ketika individu terbelah oleh pandangan ekstrem, masyarakat menjadi pecah belah dan toleransi terhadap perbedaan semakin menipis. Ini menciptakan lingkungan yang tidak kondusif bagi pertumbuhan dan perkembangan yang berkelanjutan.
Isu radikalisme di kampus kerap kali menyasar para mahasiswa. Sampai saat ini, masalah radikalisme di kampus masih menuai teka-teki bagi banyak orang. Terkait hal tersebut, pakar teologi Department of Theology di University of Notre Dame, Mun’im Sirry membeberkan bahayanya radikalisme bagi mahasiswa. Dalam sesi webinar yang digelar Institut Teknologi Bandung (ITB), Mun’im menyebut masuknya radikalisme ke kampus adalah sebuah permasalahan.
Dalam memahami radikalisme di kampus, menurutnya perlu dipahami terlebih dahulu kerangka teoritis masalah tersebut. Semakin kuat kerangka teoritis, maka semakin mudah memahami seluk beluk radikalisme bisa menyasar mahasiswa. Masalah radikalisme yang masuk kampus perlu diperhatikan baik secara nasional maupun internasional. Mun’im mengatakan tugas mahasiswa adalah menjadi agen perubahan positif, bukan terlibat isu ini.
Untuk melawan bahaya penyebaran radikalisme di lingkungan pendidikan, langkah-langkah konkret perlu diambil.
Pertama-tama, diperlukan pendekatan yang holistik yang melibatkan pendidik, orang tua, dan masyarakat secara keseluruhan. Pendidikan harus mengintegrasikan nilai-nilai toleransi, pemahaman, dan penghargaan terhadap perbedaan dalam kurikulum dan kegiatan ekstrakurikuler.
Selanjutnya, perlunya pembinaan dan pengawasan terhadap materi pembelajaran dan guru yang mengajar di lembaga pendidikan. Kurikulum harus dirancang sedemikian rupa sehingga mempromosikan pemikiran kritis, analisis objektif, dan penghargaan terhadap keberagaman, sementara guru harus dilatih untuk mendeteksi dan mengatasi tanda-tanda radikalisme di kalangan siswa.
Mun’im kemudian memaparkan bagaimana radikalisasi bisa dengan mudah menyadari mahasiswa. Menurutnya ada beberapa faktor yang berpengaruh. Di sisi lain, Mun’im pun mengatakan bahwa mahasiswa yang telah terjerat bisa juga melakukan deradikalisasi atau pemulihan diri. Ia menjelaskan bahwa mahasiswa punya kemampuan untuk melakukan deradikalisasi diri. Dengan demikian, mahasiswa yang telah terpapar tidak perlu mendapat paksaan dari luar tapi dengan kesadaran diri mereka keluar dari kelompok-kelompok radikal.
Meski terdapat mahasiswa yang teradikalisasi, Mun’im mengatakan tidak semua dari mereka melakukan tindak kekerasan. Dengan begitu, Mun’im yakin bahwa mahasiswa yang telah terpapar sangat bisa memulihkan diri melalui deradikalisasi.
Tidak kalah pentingnya adalah peran teknologi dalam memerangi radikalisme. Dengan memantau dan mengatur konten online yang diakses oleh siswa, serta memberikan pendidikan digital yang bertanggung jawab, lingkungan pendidikan dapat mengurangi risiko penyebaran ide-ide radikal melalui media sosial dan internet.
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Bengkulu Utara, Ustad Ali Basya mengimbau kepada masyarakat untuk tidak terpengaruh pemberitaan di media sosial sehubungan dengan maraknya bahaya radikalisme, terorisme, dan intoleransi. Masyarakat juga diharapkan selalu waspada dan menyampaikan informasi atau melaporkan kepada petugas bila menemukan adanya penyebaran paham radikal atau intoleransi tersebut.
Ustad Ali Basya juga mendorong kerukunan antar umat beragama sebagai upaya mencegah penyebaran radikalisme. Sebab, kerukunan antar umat beragama akan membangun fondasi yang solid untuk kolaborasi dalam memerangi radikalisme. Kerukunan antar umat beragama juga menciptakan iklim sosial yang inklusif dan toleran. Dengan demikian, ketika individu-individu dari berbagai agama merasa diakui, dihargai, dan dihormati dalam masyarakat, mereka cenderung lebih terbuka terhadap perbedaan dan kurang rentan terhadap propaganda radikal yang menyesatkan.
Dalam menghadapi bahaya penyebaran radikalisme di lingkungan pendidikan, kolaborasi antar lembaga pendidikan, pemerintah, dan masyarakat sipil sangatlah penting. Hanya dengan upaya bersama dan komitmen yang kuat, kita dapat memastikan bahwa pendidikan tetap menjadi sarana yang aman dan efektif untuk membentuk generasi yang terdidik, berpikiran terbuka, dan mampu menghadapi tantangan kompleks zaman ini.
)* Penulis merupakan mahasiswi asal Jambi