Oleh : Mayang Dwi Andaru )*
Dalam gelombang persaingan sengit jelang Pemilu 2024, suara-suara keras terus berkumandang, tidak lain adalah kecaman terhadap praktik politik uang. Meski terlarang, politik uang dianggap seolah menjadi hal lumrah oleh sebagian masyarakat. Komitmen masyarakat untuk menolak politik uang sangat diperlukan untuk mewujudkan gelaran proses Pemilu yang adil dan damai.
Seiring dengan momentum Pemilu, semakin banyak pihak yang mendobrak kebisuan, berusaha memberikan pemahaman dan edukasi kepada masyarakat mengenai bahaya politik uang bagi demokrasi. Dalam upaya mewujudkan Pemilu yang adil dan bersih, diperlukan kesadaran kolektif dan gerakan anti politik uang yang kuat.
Dosen Hukum Tata Negara Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Gugun El Guyanie, menegaskan bahwa maraknya politik uang sebelum Pemilu bukanlah sekadar masalah hukum. Menurutnya, politik uang lebih terkait dengan budaya, dan masyarakat desa memiliki peran kunci dalam upaya pemberantasannya. Munculnya anggapan bahwa pemberian dari elite politik dianggap sebagai “sedekah” menggambarkan salah kaprah masyarakat, sehingga menyelesaikan masalah ini tidak semudah mengatasi masalah hukum biasa.
Gugun menyoroti pentingnya mengubah budaya masyarakat terhadap politik uang, dan ini harus dimulai dari tingkat desa. Desa dianggap sebagai lingkungan yang strategis untuk memulai perubahan sosial dan menghapus budaya politik uang. Dia juga menekankan perlunya keterlibatan mahasiswa dalam menyosialisasikan bahaya politik uang dan membangun kesadaran anti politik uang di masyarakat.
Pakar ilmu politik dari Universitas Gadjah Mada, Mada Sukmajati, menganggap desa sebagai lokasi strategis untuk melakukan transformasi sosial. Dia berpendapat bahwa mengakhiri pola politik uang, terutama dalam pemilihan kepala desa (pilkades), dapat memberikan dampak besar pada pemilu di tingkat lebih tinggi.
Politik uang cenderung meningkat menjelang hari pemungutan suara, dan menghentikan praktik ini perlu dilakukan di tingkat desa sebagai langkah awal. Mada Sukmajati menekankan perlunya memberdayakan desa sebagai motor perubahan sosial yang dapat merasuk ke lapisan masyarakat di atasnya. Dengan melibatkan desa dalam transformasi anti politik uang, harapannya adalah untuk mendorong perubahan budaya politik yang lebih luas.
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) tidak tinggal diam menghadapi fenomena politik uang. Ketua Bawaslu Kabupaten Sleman, Arjuna Al Ichsan Siregar, menegaskan bahwa Bawaslu gencar melakukan sosialisasi terkait politik uang. Salah satu upaya yang diambil adalah mengajak masyarakat untuk mengembangkan desanya sebagai desa anti politik uang.
Bawaslu Sleman bekerja sama dengan tokoh masyarakat dan tokoh agama dalam menyampaikan pemahaman bahwa politik uang adalah praktik yang merugikan demokrasi. Siregar juga menyoroti kesepakatan kalangan ulama bahwa politik uang setara dengan rasuah atau suap, yang keduanya dianggap sebagai tindakan haram.
Politik uang, seperti candu, meracuni proses pemilu dan pemilihan dengan memperdagangkan suara dan kekuasaan. Bawaslu Sleman menyakini bahwa langkah-langkah yang diambil saat ini dapat menghapus atau setidaknya meredam praktik politik uang di masa depan. Membangun demokrasi yang bermutu membutuhkan waktu, tetapi upaya menghapus politik uang harus menjadi fokus utama demi menjaga integritas dan nilai-nilai demokrasi.
Menuju Pemilu, potensi politik uang terus mengintai. Sebagai respons, warga Wonosari Ngaliyan melakukan deklarasi relawan anti politik uang dengan tujuan mewujudkan pemilu yang jujur, adil, dan bersih. Lurah Wonosari, Dimas Nofa Sancoyo, memberikan dukungan penuh terhadap inisiatif relawan ini, melihatnya sebagai langkah konkret untuk menjaga integritas proses demokrasi.
Relawan anti politik uang di Wonosari terdiri dari perwakilan warga dari 16 Rukun Warga (RW) dengan dukungan penuh dari Ketua RW dan Ketua RT di wilayah Kelurahan Wonosari. Dalam peranannya, relawan tidak hanya menyebarluaskan informasi mengenai bahaya politik uang, tetapi juga memotivasi masyarakat untuk tidak terlibat dalam praktik ini.
Koordinator Relawan Antipolitik Uang Wonosari, Iwan Kartono, menjelaskan bahwa relawan bekerja secara rahasia untuk mendeteksi praktik politik uang dan melaporkannya kepada Panwas kelurahan, Panwas kecamatan, serta pemerintah kelurahan. Selain itu, mereka juga menyampaikan ajakan kepada masyarakat agar menggunakan hak pilihnya dengan integritas di TPS saat Pemilu.
Politik uang dianggap sebagai ancaman serius terhadap kehidupan demokrasi dan moralitas. Iwan Kartono menyoroti bahaya politik uang dalam membeli harga diri masyarakat dan berpotensi melahirkan pemimpin atau wakil rakyat yang korup. Selain dampak sosial, politik uang juga melanggar ajaran agama dan dihukum pidana menurut UU nomor 7 tahun 2017.
Deklarasi anti politik uang yang dilakukan oleh warga Wonosari Ngaliyan menjadi bagian dari gerakan yang lebih besar. Langkah konkret ini menjadi salah satu upaya masyarakat untuk melawan politik uang yang merongrong nilai-nilai inti demokrasi.
Dalam rangka mewujudkan Pemilu yang adil dan bersih, perlu ada kesadaran dan tindakan kolektif. Melibatkan semua elemen masyarakat, termasuk Bawaslu dan tokoh-tokoh agama, serta mengedepankan edukasi di tingkat desa, menjadi langkah awal yang penting.
Semakin banyak desa yang mendeklarasikan anti politik uang, semakin besar peluang untuk menghapuskan praktik ini dari proses demokrasi. Mari bersama-sama, dengan tekad kuat, wujudkan Pemilu yang sesungguhnya adil dan bersih untuk masa depan yang lebih baik.
)* Penulis adalah Analis pada Lembaga Sadawira Utama