Oleh : Anggito Bagus )*
Paham radikalisme terus menyebar dari berbagai sisi terutama media massa. Radikalisme di ruang digital dapat mengacu pada penyebaran ideologi radikal, berita palsu (hoaks), retorika berbahaya, atau tindakan ekstremisme melalui platform online seperti media sosial, situs web, dan aplikasi pesan. Sehingga penting untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang bahaya radikalisme di ruang digital, serta melakukan kampanye edukasi yang efektif dapat membantu individu memahami cara mengidentifikasi konten berbahaya dan memeriksa kebenaran informasi sebelum membagikannya.
Radikalisme di ruang digital dapat mengacu pada penyebaran ideologi radikal, berita palsu (hoaks), retorika berbahaya, atau tindakan ekstremisme melalui platform online seperti media sosial, situs web, dan aplikasi pesan.
Oleh karena itu, penting untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang bahaya radikalisme di ruang digital, serta melakukan kampanye edukasi yang efektif dapat membantu individu memahami cara mengidentifikasi konten berbahaya dan memeriksa kebenaran informasi sebelum membagikannya.
Radikalisme yang berujung pada terorisme menjadi masalah penting bagi umat Islam Indonesia dewasa ini. Dua isu itu telah menyebabkan Islam dicap sebagai agama teror dan umat Islam dianggap menyukai jalan kekerasan suci untuk menyebarkan agamanya. Sekalipun anggapan itu mudah dimentahkan, namun fakta bahwa pelaku teror di Indonesia adalah seorang Muslim garis keras sangat membebani psikologi umat Islam secara keseluruhan.
Kedua hal tersebut merupakan tindakan kekerasan atau ancaman bagi kehidupan keberagamaan. Tindak kejahatan tersebut sesungguhnya dilakukan oleh sekelompok minoritas orang yang menolak dan sekaligus tidak percaya lagi pada sistem dan proses demokrasi yang ada. Gerakan tersebut menginginkan adanya perubahan sosial dan politik secara drastis dengan kekerasan. Sedang agama yang dijadikan sebagai fondasi kemudian dipahami secara ekstrem.
Wakil Ketua Komisi I DPR-RI, H. Teuku Riefky Harsya mengatakan radikalisme kian meluas hingga ke seluruh sektor terutama media sosial. Media sosial (Medsos) bagaikan dua sisi mata uang bagi kehidupan masyarakat. Di satu sisi, Medsos memberikan banyak manfaat, seperti memperluas wawasan, meningkatkan kreativitas, dan mempererat silaturahmi. Di sisi lain, Medsos juga bisa menimbulkan kemudaratan, seperti menyebarkan hoaks, ujaran kebencian, dan radikalisme. Akibatnya banyak yang bermasalah dengan UU ITE.
Oleh karena itu, pihaknya mengajak masyarakat untuk memahami aturan hukum yang mengatur tentang penggunaan Medsos, seperti Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Pihaknya juga mengingatkan agar masyarakat berhati-hati dan bijak dalam menggunakan medsos, serta tidak mudah terprovokasi oleh konten-konten negatif yang ada.
Sementara, Dirjen Aplikasi Informatika (Aptika) Kementerian Komunikasi dan Informasi Republik Indonesia (Kemkominfo RI), Semuel Abrijani Pangerapan mengatakan perlu bekerjasama dengan berbagai pihak untuk meningkatkan literasi digital khususnya terkait implementasi aplikasi informatika di masyarakat.
Pihaknya berharap program-program tersebut dapat meningkatkan pemahaman dan wawasan masyarakat tentang pentingnya literasi digital. Manusia berkualitas dengan literasi digital yang tinggi adalah salah satu fungsi suksesnya transformasi digital di negeri ini. Generasi yang handal yang cakap dan bijak inilah yang nanti akan menjadi ujung tombak mewujudkan Indonesia agar mampu bersaing di kancah global.
Masyarakat diimbau untuk waspada terhadap setiap konten-konten ataupun berita berbau provokasi yang disebarkan kelompok radikal dan intoleran. Literasi diruang digital perlu terus digalakkan guna meminimalisir hoax, disinformasi, ujaran kebencian, serta radikalisme.
Saat ini, dunia digital bukan sekedar sebuah platform internet, melainkan sebuah meta realitas, yaitu realitas baru dimana setiap orang menggantungkan seluruh aktivitasnya kedalam jaringan internet dan digital. Dalam dunia meta realitas tersebutlah, kelompok radikal dan teroris menyebarkan propaganda, penyebaran fitnah, hoax, ujaran kebencian dan permusuhan. Sehingga dalam kondisi kekacauan informasi tersebut, dapat menjadi kesempatan dan momentum bagi kelompok radikal dan teroris untuk melancarkan agitasi dan propaganda serta teror untuk mengganggu stabilitas keamanan suatu negara.
Aksi teror digital tersebut dilakukan dalam berbagai tujuan, yaitu ekonomi, ideologis, dan politik. Secara politik, kejahatan digital ini dilakukan dalam rangka untuk mendelegitimasi terhadap kelompok politik tertentu, mendelegitimasi konstitusi dan aparat penegak hukum, serta mendelegitimasi pemerintah dan hasil demokrasi yang konstitusional.
Kelompok radikal atau aktor asing dapat memanfaatkan media sosial dan platform online untuk menyebarkan hoaks, berita palsu, dan propaganda yang dirancang untuk menciptakan ketidakpercayaan terhadap dasar negara dan pemerintah yang berdaulat. Selain itu, kelompok radikal akan berupaya untuk mengintimidasi kelompok yang menolak atau berseberangan dengan pahamnya. Intimidasi tersebut dapat berbentuk tindakan kekerasan, ancaman, atau kampanye intimidasi.
Dengan adanya ancaman radikalisme tersebut, pihak berwenang harus bekerja sama dengan penyedia platform online seperti Facebook, Twitter, dan YouTube untuk terus melakukan patroli menghapus konten radikal, akun yang mendukung radikalisme, melakukan identifikasi dan menghentikan kampanye disinformasi. Serta memperkuat kerangka hukum untuk menghadapi radikalisme di ruang digital, termasuk Undang-Undang yang mengatur penggunaan media sosial, sanksi keras bagi pelaku radikalisme, dan peraturan perlindungan privasi.
Upaya penangkalan konten radikalisme, terorisme maupun hoaks dilakukan untuk memastikan situasi nasional yang produktif dan sehat. Selain itu kewaspadaan masyarakat terhadap konten-konten radikalisme juga harus ditingkatkan, karena apabila tidak, masyarakat dapat terpengaruh sehingga berdampak pada kehidupan sosialnya.
)* Penulis adalah mahasiswa yang tinggal di Bandung