Oleh Mariana Daulay)*

Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan salah satu momen krusial dalam perjalanan demokrasi Indonesia. Setelah perhelatan Pemilu 2024, tanggung jawab tidak hanya berada pada pundak pemenang, tetapi juga menjadi panggilan bagi mereka untuk menjaga persatuan dan menghindari polarisasi dalam masyarakat. Pasca pemilihan umum presiden, Indonesia akan memasuki babak baru dalam perjalanan demokrasi. Untuk itu, penting agar menjaga stabilitas keamanan dan politik dalam negeri menjadi fokus utama pemerintah dan seluruh lapisan masyarakat.

Pemenang Pemilu 2024 memiliki peran strategis dalam merawat keutuhan masyarakat Indonesia. Menjaga agar masyarakat tidak terpolarisasi menjadi kunci untuk menciptakan lingkungan yang harmonis. Dalam menjalankan pemerintahan, pemenang Pemilu diharapkan untuk menjadi pemersatu dalam menyeimbangkan kepentingan yang beragam, dan menghormati hak-hak setiap warga negara.

Indonesia yang majemuk memerlukan kepemimpinan yang mampu mengelola perbedaan dengan bijak. Pemenang Pemilu harus menghindari segala bentuk retorika atau tindakan yang dapat memicu konflik sosial. Mempertahankan kerukunan antar berbagai kelompok masyarakat adalah tanggung jawab utama yang harus diemban oleh pemenang Pemilu demi menciptakan suasana damai. Oleh sebab itu, pihak yang menang maupun kalah perlu duduk bersama untuk membahas perbedaan pendapat, menemukan titik temu, dan mencari solusi bersama demi kemajuan bangsa. Proses rekonsiliasi yang inklusif akan membantu menyatukan kembali masyarakat yang mungkin terpecah selama proses Pemilu 2024 akibat perbedaan politik.

Walaupun gejalanya belum dirasakan dalam taraf yang parah, bukan berarti publik tidak khawatir dengan polarisasi politik di masa pemilu. Hasil survei menunjukkan, sebagian besar responden menyatakan khawatir dengan potensi keterbelahan. Setidaknya lebih dari separuh responden (56 persen) merasa khawatir dengan adanya perpecahan di masa Pemilu 2024.

Kekhawatiran ini bukan tanpa alasan. Sebagian besar responden mengatakan, polarisasi politik, apalagi yang kemudian disertai narasi kebencian, berpotensi merusak demokrasi di Indonesia. Pengalaman di Pemilu 2019 menjadi catatan traumatis bagi sebagian besar masyarakat. Kontestasi pemilihan presiden kala itu sarat dengan tarik-menarik antarkubu pendukung capres.

Peneliti dari Laboratorium Psikologi Politik Universitas Indonesia (UI) Wawan Kurniawan menilai, polarisasi politik tercipta karena adanya identitas kelompok yang terbangun. Ketika identitas kelompok menguat, maka terjadi bias-bias yang membuat keyakinan atau pilihan politik mereka seolah tak terbendung. Karenanya semua elemen masyarakat harus berkomitmen untuk menghormati hasil pemilu dan proses demokratis, serta menolak kekerasan atau intimidasi sebagai alat politik.

Pemerintahan yang efektif memerlukan komunikasi yang terbuka dan inklusif. Pemenang Pemilu diharapkan mendorong dialog yang konstruktif, mendengarkan aspirasi masyarakat, dan mempertimbangkan berbagai pandangan. Melalui komunikasi yang baik, pemenang Pemilu dapat meminimalisir ketegangan dan membangun rasa kepercayaan di kalangan masyarakat. Pemimpin terpilih juga perlu memastikan transparansi dan keterbukaan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Informasi yang jelas dan mudah diakses oleh masyarakat akan membantu mencegah munculnya spekulasi dan kekhawatiran yang dapat merugikan stabilitas politik. Keterlibatan publik dalam pengambilan keputusan juga dapat memperkuat legitimasi pemerintahan pasca pemilihan.

Pemenang Pemilu memiliki peran krusial dalam memperkuat institusi demokrasi. Penguatan lembaga-lembaga demokratis, seperti lembaga legislatif dan yudikatif, adalah langkah penting untuk menjaga keseimbangan kekuasaan. Dengan memastikan kemandirian dan transparansi institusi, pemenang Pemilu dapat membuktikan komitmen mereka terhadap prinsip-prinsip demokrasi. Menguatkan sistem hukum dan penegakan hukum pun menjadi langkah krusial untuk mencegah potensi konflik pasca pemilihan. Masyarakat harus percaya bahwa pelanggaran hukum, termasuk pelanggaran terkait pemilihan, akan ditindak dengan adil dan tanpa diskriminasi. Oleh karena itu, kemandirian lembaga-lembaga penegak hukum perlu dijaga agar tidak terpengaruh oleh tekanan politik.

Pemenang Pemilu juga bertanggung jawab untuk meningkatkan tingkat pendidikan politik di masyarakat. Pendidikan politik yang baik dapat membantu mengurangi kesalahpahaman dan memperkuat pemahaman masyarakat tentang demokrasi. Masyarakat yang sadar akan hak dan kewajibannya sebagai warga negara lebih mungkin untuk mendukung pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan. Semakin teredukasi masyarakat terkait proses politik dan demokrasi, semakin cenderung mereka untuk berpartisipasi secara konstruktif dalam pembangunan negara. Pendidikan politik juga dapat membantu membangun kesadaran akan pentingnya kerjasama dan toleransi.

Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Nurlia Dian Paramita, menyampaikan kondisi politik saat Pemilu memang kerap memicu perdebatan di publik. Hal ini, ditambah peran media massa yang cenderung menyoroti figur politik dibandingkan program yang akan dibawa. Masyarakat tidak boleh begitu saja percaya pada informasi yang beredar di media, khususnya media sosial. Masyarakat disarankan tidak reaktif sebelum mengklarifikasi secara objektif kebenaran informasi yang diperoleh, agar tidak terprovokasi hoaks.

Pasca pemilihan umum presiden, menjaga stabilitas keamanan dan politik bukanlah tugas yang ringan. Diperlukan komitmen bersama dari seluruh pihak untuk menciptakan lingkungan yang stabil dan harmonis. Melalui dialog, transparansi, penguatan sistem hukum, partisipasi politik, dan kolaborasi antar pihak, Indonesia dapat melangkah maju sebagai negara demokratis yang kokoh dan damai. Masyarakat yang memiliki kesadaran politik tinggi dan pemerintah yang responsif akan membawa Indonesia menuju masa depan yang lebih baik dan berkelanjutan.

)* Penulis merupakan mahasiswi di Semarang