Oleh: Nana Gunawan *)
Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 sudah semakin dekat dan saat ini sudah memasuki tahapan kampanye. Komisi Pemilihan Umum (KPU) mencatat bahwa berdasarkan hasil rekapitulasi Daftar Pemilih Tetap (DPT), mayoritas pemilih dalam Pemilu 2024 didominasi oleh kelompok anak muda yaitu generasi Z dan milenial. Maka dari itu, pentingnya bagi masyarakat khususnya para pemilih pemula untuk mewaspadai praktik kampanye hitam menjelang Pemilu 2024, karena salah satu yang kerap mencuat di media adalah kampanye hitam.
Sebanyak 66 juta orang atau sekitar 33,60 persen pemilih berasal dari generasi milenial. Sedangkan, pemilih dari generasi Z adalah lebih dari 46 juta orang atau sekitar 22,85 persen dari total DPT Pemilu 2024. Jika diakumulasikan, maka total pemilih dari kelompok generasi milenial dan generasi Z berjumlah lebih dari 113 juta orang atau sekitar 56,45 persen dari total keseluruhan pemilih.
Dari banyaknya bentuk kampanye yang bisa dilakukan, ternyata masih banyak para peserta Pemilu yang melakukan black campaign atau kampanye hitam. Kampanye hitam itu sendiri merupakan kegiatan negatif yang dilakukan oleh pelaku atau pegiat politik dalam rangka menjatuhkan lawan politiknya. Kegiatan kampanye hitam menurut Undang-Undang (UU) Pemilu biasanya berkaitan dengan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu, pelanggaran administrasi pemilu, sengketa pemilu, hingga tindak pidana pemilu termasuk praktik politik uang.
Selain itu, kampanye hitam itu sendiri juga bisa dilakukan dengan menyebarkan informasi palsu terkait salah satu calon lawan, melakukan kegiatan yang mengancam keutuhan negara, mengadu domba masyarakat, menghilangkan alat peraga kampanye, ataupun mengancam masyarakat untuk tidak memilih calon lawannya. Dilihat dari perkembangan teknologi saat ini, fenomena kampanye hitam sering dijumpai dengan mudah di berbagai platform media sosial, sehingga tidak sedikit masyarakat yang terpengaruh akan hal tersebut dan berujung pada memperburuk situasi Pemilu.
Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia, Yunarto Wijaya mengatakan bahwa penggunaan teknologi kecerdasan buatan (AI) berpotensi dimanfaatkan para peserta Pemilu untuk menyebarkan hoaks dan kampanye hitam. Hal ini tentunya harus diwaspadai oleh masyarakat maupun para penegak hukum. Pihaknya juga mengatakan bahwa AI seharusnya digunakan dengan benar untuk kegiatan sosialisasi program kerja unggulan para peserta Pemilu dengan cepat dan kreatif.
Sementara itu, menurut Pemerhati Politik Universitas Brawijaya, Wawan Sobari mengatakan bahwa pemilih pemula harus meningkatkan kewaspadaannya terhadap praktik kampanye hitam dalam Pemilu 2024. Para pemilih pemula harus bisa mengenali isi konten dari kampanye tersebut apakah terkandung unsur kebencian yang patut difilter atau tidak. Menurutnya, kalangan anak muda harus bisa mengambil sikap terhadap berita-berita terkait Pemilu 2024 secara cerdas dan kritis agar tidak terjebak dalam kampanye hitam.
Untuk mengatasi kampanye hitam ini, pihaknya menyarankan agar masyarakat dari seluruh generasi berperan aktif untuk saling mengingatkan terkait bahayanya terjerumus dalam kampanye hitam. Selain itu, para pegiat media sosial dapat membuat konten-konten positif terkait Pemilu termasuk konten berisikan panduan agar terhindar dari kegiatan kampanye hitam, sehingga kalangan anak muda lainnya dapat mencegah kampanye hitam.
Lebih lanjut, Wawan Sobari meminta kepada para pelaku politik untuk tidak menggunakan kampanye hitam sebagai sarana menarik suara dari kalangan anak muda. Hal ini dikarenakan pemilih pemula masih mudah dipengaruhi akibat lemahnya pengetahuan politik mereka. Jangan sampai memainkan isu agama maupun isu sara yang berpotensi menyinggung salah satu kelompok tertentu.
Di sisi lain, Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kota Cirebon, M. Joharudin mengatakan kepada masyarakat untuk tidak terpengaruh terhadap hal-hal kontra produktif yang berkaitan dengan Pemilu 2024 seperti politik uang maupun kampanye hitam. Apalagi, momentum menjelang Pemilu 2024 diprediksikan akan berlangsung panas.
Kampanye hitam di media sosial merupakan kegiatan yang paling mudah untuk memainkan narasi politik.
Bahkan, M. Joharudin mengatakan bahwa pembuatan akun media sosial untuk sarana kampanye hitam bisa dilakukan tanpa mengeluarkan biaya, sehingga perlu diwaspadai oleh generasi muda karena konten-konten tersebut akan sangat mudah mempengaruhi pikiran dan emosi masyarakat.
M. Joharudin menambahkan bahwa masyarakat tidak perlu khawatir karena baik Bawaslu maupun KPU akan ikut berperan dalam membasmi kampanye hitam yang tersebar menjelang Pemilu 2024. Sanksi berat akan menanti para oknum yang terbukti melakukan kampanye hitam, terlebih saat ini Bawaslu juga memiliki Sentra Gakkumdu yang merupakan gabungan dari berbagai instansi termasuk kepolisian untuk menindak setiap dugaan pelanggaran.
Jika hal tersebut terjadi, oknum yang bersangkutan akan terjerat sanksi, dan sanksi terberatnya adalah didiskualifikasi dari peserta Pemilu. Bawaslu dan KPU telah menerapkan regulasi secara tegas bagi para peserta Pemilu yang terbukti melakukan pelanggaran. Hal ini dikarenakan kecurangan dalam Pemilu adalah tindakan yang dapat mencoreng marwah dan martabat demokrasi di Indonesia.
Dengan begitu, diharapkan agar masyarakat khususnya generasi muda dan para pemilih pemula dapat berperan aktif dalam memantau dan mengawasi proses pelaksanaan Pemilu. Apabila menemukan kecurigaan, masyarakat tidak perlu ragu untuk melapor kepada pihak berwenang untuk segera ditindak tegas. Masyarakat juga perlu waspada dengan pergerakan politis yang mengarah pada praktik kecurangan menjelang Pemilu 2024 sehingga terciptanya pesta demokrasi yang jujur dan adil.
*) Penulis merupakan Pengamat Politik, Pershada Institut.