Oleh : Maya Naura Lingga )*
Seiring berjalannya tahapan Pemilihan Umum 2024, elite politik terus menyajikan aksi-aksi yang penuh kejutan, dengan debat kandidasi yang tak hanya diwarnai retorika, tetapi juga gemerlap penggembira yang senang beradu yel-yel, joget ria, dan sesekali drama. Namun, kebermaknaan kontestasi politik ini tak bisa diukur hanya dari pergelaran hiburan semata.
Pentingnya gagasan yang mampu meningkatkan kualitas demokrasi menjadi landasan krusial, dan dari situ, muncul pertanyaan mendasar: Bagaimana etika kehidupan berbangsa dapat diperkuat melalui pemilihan umum?
Wacana tentang etika dalam pemilihan umum mungkin tampak sepele, tetapi jangan biarkan itu menjadi isu pinggiran yang tak laku. Dalam konteks ini, penting untuk merunut sejarah perjuangan melalui Ketetapan MPR No VI/MPR/2001, yang berjudul “Etika Kehidupan Berbangsa dan Bernegara”.
Dokumen ini bukan hanya sekadar pengakuan formal, melainkan juga cermin keprihatinan terhadap ancaman serius terhadap persatuan bangsa dan kemunduran etika kehidupan berbangsa.
Ketika kita menengok nilai-nilai Pancasila, kita menemukan bahwa etika memiliki peran sentral dalam menjaga keseimbangan dan keadilan dalam sistem pemerintahan yang etis. Sebuah pemerintahan yang berpijak pada hukum yang adil, sebuah prinsip yang sangat ditekankan oleh Pancasila.
Namun, apakah eksistensi demokrasi dan etika politik hanya simbol formalitas? Nyatanya, keduanya adalah fondasi bagi keberlanjutan hidup suatu bangsa.
Demokrasi, sebagai pemerintahan rakyat, dan etika politik, sebagai panduan moral para pemimpin dan warga negara, saling melengkapi. Dalam konsep Pancasila, demokrasi mewujud dalam partisipasi aktif masyarakat, menghormati hak asasi manusia, dan kebebasan berekspresi.
Di sisi lain, etika politik menitikberatkan pada perilaku dan moral para pemimpin serta warga negara, dengan mengedepankan keadilan, kejujuran, dan persatuan.
Penting untuk diakui bahwa nilai-nilai etis Pancasila bukanlah sekadar legitimasi yuridis atau politis, melainkan juga bersifat sosio-kultural. Apapun perubahan yang terjadi, identitas bangsa Indonesia tetap terpaut pada filosofi dan etika Pancasila. Oleh karena itu, upaya untuk mewujudkan cita-cita negara ini tidak bisa terpisahkan dari pengembangan etika berbangsa dan bernegara.
Dengan memasuki tahap kampanye Pemilu 2024, kita dihadapkan pada tantangan menjunjung tinggi prinsip etika, estetika, dan ketentuan yang tidak boleh dilanggar. Menurut Komisioner KPU Sumatera Barat, Hamdan, kampanye harus memuat visi, misi, dan program peserta pemilu tanpa melanggar aturan. Namun, masih terdapat pandangan bahwa kampanye adalah panggung untuk bersinar tanpa menghiraukan prinsip etika.
Teknologi dan media sosial menjadi medan utama kampanye modern. Namun, Hamdan menegaskan bahwa penyebaran alat peraga kampanye haruslah mengedepankan prinsip etika dan estetika. Ia juga menyoroti larangan kampanye di tempat-tempat tertentu, seperti tempat ibadah, rumah sakit, dan tempat pendidikan, yang seharusnya dihindari demi menghormati ruang publik.
Meskipun demikian, tantangan tetap ada. Apakah peserta pemilu mampu mematuhi peraturan dan memastikan kampanye yang etis? Bawaslu, sebagai lembaga pengawas pemilu, memiliki peran penting dalam memastikan pelaksanaan kampanye sesuai regulasi.
Dalam hal pelanggaran, Bawaslu memiliki mekanisme peringatan dan penindakan, termasuk penurunan alat peraga kampanye yang melanggar aturan.
Di era digital ini, teknologi menjadi alat utama dalam menyebarkan pesan kampanye. Penggunaan media sosial, iklan daring, dan platform daring lainnya memungkinkan pesan kampanye menjangkau lebih banyak orang. Namun, di balik kemudahan tersebut, muncul tantangan baru terkait etika. Pemilu bukan hanya sekadar perlombaan popularitas di dunia maya, melainkan juga ujian moralitas dan integritas.
Pertanyaan etis muncul terkait dengan penyebaran informasi yang tidak benar atau provokatif. Bagaimana peserta pemilu dapat menggunakan media sosial dengan etika, memastikan informasi yang disampaikan akurat, dan tidak menciptakan polarisasi di masyarakat? Ini menjadi sorotan kritis dalam menghadapi pemilu modern, di mana citra dan narasi seringkali lebih diperhatikan daripada substansi kebijakan.
Dalam upaya mengatasi tantangan ini, peran lembaga pengawas seperti Bawaslu menjadi sangat krusial. Mereka tidak hanya bertugas memantau pelanggaran aturan kampanye, tetapi juga harus menjadi penjaga etika dalam proses demokrasi.
Sistem Informasi Kampanye dan Dana Kampanye (SIKADEKA) yang digunakan oleh KPU dan Bawaslu, menjadi alat penting untuk memantau dan menanggapi pelanggaran dengan cepat dan efektif.
Meskipun aturan dan teknologi tersedia, kesadaran peserta pemilu terhadap etika tetap menjadi kunci. Kedewasaan politik dalam menggunakan media sosial, menyebarluaskan informasi yang benar, dan menghormati batas-batas etika kampanye adalah tanggung jawab bersama.
Memastikan bahwa kompetisi politik tidak merugikan integritas demokrasi adalah pekerjaan bersama bagi semua pihak yang terlibat.
Sebagai negara dan bangsa yang mengusung semangat demokrasi, kita harus tetap menjaga eksistensi demokrasi meskipun dalam keterbatasan dan tekanan. Pemilu 2024 bukan hanya sekadar pesta demokrasi, melainkan panggung di mana etika berbangsa dapat mengukir jejaknya.
Semoga, melalui proses ini, kita mampu memperkuat etika berbangsa dan bernegara, memastikan demokrasi yang berkualitas, dan mengarahkan Indonesia ke arah masa depan yang lebih baik. Dengan itu, kita bisa membuktikan bahwa etika bukanlah sekadar wacana, tetapi fondasi yang kokoh bagi kemajuan bangsa ini.
Eksistensi demokrasi dan nilai-nilai etis Pancasila harus terus dijaga dan diperkuat. Pemilu bukan hanya tentang menang atau kalah, tetapi juga tentang menjaga moralitas dan integritas demokrasi. Oleh karena itu, mari kita sambut Pemilu 2024 dengan semangat yang tidak hanya memperkuat demokrasi kita, tetapi juga memastikan bahwa etika berbangsa dan bernegara menjadi tiang kokoh dalam membangun masa depan Indonesia yang lebih adil, sejahtera, dan demokratis.
)* Kontributor Ruang Baca Nusantara