
Banten, Dinamikaonline.com- Buruknya pengelolaan dan perencanaan keuangan daerah berdampak signifikan pada penerapan kebijakan populis Gubernur Banten, Andra Soni, dan Wakil Gubernur Banten dalam menjalankan program penghapusan atau pemutihan denda Pajak Kendaraan Bermotor (PKB). Proyeksi Pendapatan Asli Daerah (PAD) Provinsi Banten untuk tahun 2025 dari pajak kendaraan bermotor harus rela terkoreksi hingga Rp50 miliar.
Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD), sebagai salah satu lembaga yang bertanggung jawab merumuskan kebijakan pengelolaan keuangan daerah serta menyusun rancangan, penetapan, pelaksanaan, dan perubahan APBD, dinilai oleh pengamat sebagai lembaga yang gagal dalam menjalankan tugasnya. Hal ini disebabkan oleh ketidakmampuan BPKAD dalam menilai secara substantif kondisi keuangan daerah. Akibatnya, proyeksi target pendapatan, APBD, dan realisasi program unggulan Andra-Dimiyati untuk masyarakat Banten berjalan tidak sinkron.
“Di luar persoalan pengelolaan aset, BPKAD juga wajib bertanggung jawab atas carut-marutnya tata kelola keuangan daerah Provinsi Banten. Akibatnya, bukan hanya proyeksi PAD yang terkoreksi, tetapi juga berdampak pada defisit APBD 2025 yang diperkirakan mencapai hingga Rp 2 Triliun,” ungkap Subandi Musbah, Direktur Visi Nusantara, dalam siaran persnya, Rabu 30 April 2025.
Menurut Subandi, BPKAD yang dipimpin oleh Rina Dewiyanti harus lebih jeli dalam melihat postur rancangan APBD yang sesuai dengan kondisi keuangan daerah serta tekanan pertumbuhan ekonomi. Beragam tantangan, seperti keluarnya Instruksi Presiden No. 1 Tahun 2025 yang mengamanatkan seluruh kementerian dan lembaga untuk menyesuaikan anggaran mereka dengan kebijakan efisiensi, termasuk pengurangan pos belanja hingga 90%, harus direspons dengan cepat. BPKAD seharusnya melakukan pendataan ulang terhadap pos-pos anggaran untuk pengadaan barang dan jasa.
“BPKAD wajib melakukan pengkajian, penyusunan, dan pengusulan Rencana Strategis, Rencana Kerja Perangkat Daerah, Rencana Kerja Tahunan, dan Perjanjian Kinerja secara substantif,” ucapnya.
Meskipun BPKAD mengaku telah melakukan evaluasi belanja dengan jumlah inefisiensi mencapai Rp1,2 triliun, Subandi masih melihat adanya pemborosan dalam penggunaan anggaran keuangan daerah. Contohnya, pengadaan panel surya senilai Rp21 miliar di lingkungan DPRD Provinsi Banten yang berada di bawah tanggung jawab Sekretaris Dewan Provinsi, Deden Apriandhi Hartawan, yang juga menjabat sebagai Plt Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Provinsi Banten. Selain itu, pengadaan obat-obatan untuk dua rumah sakit daerah, Labuan dan Cilograng, dengan anggaran mencapai Rp15 miliar, padahal rumah sakit yang dibangun oleh Dinas Kesehatan di bawah kepemimpinan Ati Pamudji Astuti hingga saat ini belum beroperasi.
Subandi juga menyoroti lambannya pengerjaan proyek realisasi APBD, seperti pembangunan jalan Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK), yang berdampak pada terganggunya mobilitas dan kegiatan ekonomi warga setempat. Padahal, Kepala DPUPR Provinsi Banten, Arlan Marzan, sebelumnya menyatakan bahwa pada tahun 2024 Pemprov Banten akan menuntaskan pembangunan ruas jalan ini dengan anggaran sebesar Rp90 miliar.
“Hal-hal ini perlu menjadi perhatian khusus. Jangan sampai BPKAD dinilai melakukan pembiaran terhadap pemborosan penggunaan anggaran keuangan daerah,” cetusnya.
Selain memahami tata kelola keuangan daerah, BPKAD juga dituntut untuk lebih kreatif. Pengamat tersebut mencatat bahwa tidak ada upaya fundamental yang dilakukan BAPENDA dalam menggali sumber pendapatan lainnya, selain bergantung pada kebijakan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB).
“Dalam perencanaan saja, mereka belum mampu membaca sumber dan jumlah pendapatan daerah. Saran saya, sebaiknya Andra melakukan evaluasi. Jangan sampai kondisi keuangan daerah yang tidak sehat menghambat roda pemerintahan Banten dalam merealisasikan program pembangunan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat,” pungkasnya. (*)