Yogyakarta, Dinamikaonline-
Centre For Leadership and Law Development Studies (CLDS) FH UII menilai pertimbangan hukum hakim yang menangani gugatan praperadilan dari Thomas Lembong selaku Pemohon terhadap Kejaksaaan Agung RI selaku Termohon di PN Jakarta Selatan. Gugatan praperadilan dilakukan karena penetapan Pemohon sebagai tersangka dan penahanan terhadap dirinya oleh Termohon (Kejagung RI) dinilai tidak sah dan melawan hukum.
Penilaian ini dilakukan CLDS FH UII berdasarkan hasil sidang eksaminasi terhadap putusan perkara praperadilan Nomor 113/Pid.Pra/2024/PN.Jkt.Sel atas nama Pemohon Thomas Trikasih Lembong Melawan Termohon (Kejaksaan Agung RI). Sidang eksaminasi dilakukan di Hotel Eastparc Yogyakarta, Sabtu 14 Desember 2024.
Sidang eksaminasi dilakukan oleh Tim Eksaminasi CLDS FH UII yang terdiri dari para ahli hukum pidana yang sangat kompeten seperti Prof Dr Rusli Muhammad SH MH, Prof Hanafi Amrani SH MH LLM PhD, Dr Muhammad Arif Setiawan SH MH dan Wahyu Priyanka Nata Permana SH MH. Sidang eksaminasi juga dihadiri oleh dosen pengajar hukum pidana, praktisi bantuan hukum baik dari LKBH FH UII, UAD, UMY dan UJB, para advokat dari DPC Peradi DIY, Ikadin DIY serta mahasiswa pascasarjana Program Magister Hukum (S2) yang mengambil konsentrasi bidang hukum pidana (Ilmu Hukum dan Sistem Peradilan Pidana).
Dari hasil sidang eksaminasi itu, CLDS FH UII menyimpulkan bahwa seharusnya Hakim Praperadilan memutuskan, pertama, mengabulkan Permohonan Praperadilan dan menyatakan penyidikan perkara aquo oleh Termohon adalah tidak sah dan melawan hukum; Kedua, menyatakan secara hukum bahwa penyidikan yang dilakukan oleh Termohon dalam perkara aquo adalah tidak sah dan melawan hukum; ketiga, menyatakan secara hukum bahwa penahanan yang dilakukan oleh Termohon adalah tidak sah, karena tidak terpenuhinya alasan subyektif yang didasarkan pada pertimbangan obyektif yaitu adanya keharusan disertai dengan bukti dari adanya kekhawatiran penyidik.
Dalam konferensi pers usai sidang eksaminasi di Ruang Lotus Hotel Eastparc Yogyakarta, Sabtu 14 Desember 2024, CLDS FH UII mengungkapkan bahwa menurut eksaminator sangat tidak tepat pertimbangan hukum hakim Praperadilan yang menyatakan bahwa tidak diberikannya kesempatan menunjuk Penasihat Hukum pada saat Tom Lembong ditetapkan sebagai Tersangka dan diperiksa sebagai Tersangka tidaklah merupakan alasan untuk menyatakan suatu penetapan Tersangka menjadi tidak sah.
Menurut sidang eksaminasi, pengabaian hak Tersangka atas akses untuk didampingi penasihat hukum yang dipilih sendiri merupakan pelanggaran serius terhadap hak yuridis Tersangka sebagaimana yang sudah ditentukan dalam Pasal 55 dan 56 KUHAP.
Selain itu, pertimbangan hukum Hakim Praperadilan tersebut terkesan menganggap sepele mengenai hak Tersangka untuk mendapat bantuan hukum dari seorang penasihat hukum atau lebih yang dipercaya oleh tersangka sendiri untuk keperluan pembelaan bagi dirinya, padahal persoalan akses untuk mendapat penasihat hukum bagi tersangka atau terdakwa merupakan salah satu indikator penting dari adanya prinsip peradilan yang adil (due process of law).
Menurut CLDS FH UII, eksaminator berpendapat bahwa dengan pengabaian hak tersangka oleh Termohon untuk memilih sendiri penasihat hukum, meskipun hanya terjadi di awal penyidikan, merupakan salah satu alasan penting untuk menyatakan bahwa penetapan Pemohon sebagai Tersangka adalah tidak sah dan melawan hukum sebagaimana pernah diputuskan dalam beberapa kali putusan di tingkat Kasasi yaitu antara lain putusan Mahkamah Agung (MA) No.367 K/Pid/1998 tanggal 29 Mei 1998, dan putusan MA No. 1565 K/Pid/1991 tanggal 16 September 1993.
“Tidak diberikannya akses bagi Pemohon sebagai tersangka untuk memilih sendiri penasihat hukum juga bertentangan dengan adagium hukum yang berbunyi ubi jus ibi remidium yang berarti manakala ada hak yang diberikan oleh hukum maka harus ada akses hukum untuk menuntut dan/atau untuk memperoleh haknya apabila dilanggar,” kata CLDS FH UII mengutip hasil sidang eksaminasi.
Karena itu, menurut hasil sidang eksaminasi, dengan asas hukum ini pula seharusnya hakim Praperadilan mengakomodasi permohonan Pemohon yang dilanggar haknya oleh penyidik yang tidak memberikan penasihat hukum yang dipilih sendiri bagi Permohon di awal penyidikan dan pada saat Pemohon ditetapkan sebagai Tersangka dengan menyatakan bahwa penetapan tersangka tidak sah dan melawan hukum karena tidak dipenuhinya salah satu syarat penting dalam pemenuhan hak untuk mendapatkan penasihat hukum yang dipilih Pemohon sendiri.
Menurut eksaminator, Hakim Praperadilan telah salah dalam membuat pertimbangan hukum dengan menyatakan bahwa “Penetapan pemohon sebagai tersangka TIPIKOR dengan sangkaan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU TIPIKOR jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP oleh Termohon adalah sah”, dengan pertimbangan: Bahwa penetapan Pemohon sebagai tersangka tidak didasarkan pada bukti permulaan berupa kepastian hasil penghitungan kerugian keuangan negara sebesar Rp 400 miliar yang didasarkan hasil audit dari lembaga audit yang berwenang.
Selain itu, menurut eksaminator, Hakim Praperadilan juga telah membuat pertimbangan hukum yang keliru di halaman 165 ketika menyatakan bahwa “dalam penghitungan kerugian negara tidak diharuskan adanya bentuk formal terlebih dahulu berupa penghitungan kerugian negara yang final/pasti oleh lembaga tertentu. Dan cukup menyatakan adanya kerugian keuangan negara yang nyata (telah terjadi/ actual loss) dan dapat dihitung, Sebab perhitungan kerugian demikian tidak akan menjadi pasti/final, sampai dengan diuji di persidangan oleh majelis hakim pokok perkara…”
Hakim Praperadilan juga telah membuat pertimbangan hukum yang keliru di halaman 167 yang menyatakan bahwa “penentuan besarnya kerugian negara dapat juga diketahui diujung pemeriksaan.”
Berdasarkan argumentasi tersebut, menurut eksaminator, Hakim praperadilan telah mengakui bahwa Termohon memang tidak bisa membuktikan bahwa Penetapan Pemohon sebagai tersangka Tipikor dengan sangkaan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU TIPIKOR jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP tidaklah didasarkan bukti permulaan mengenai kepastian adanya kerugian keuangan negara sebagai konsekuensi logis dari delik materiil dari tindak pidana yang disangkakan kepada Pemohon.
Dengan demikian, menurut eksaminator, seharusnya hakim praperadilan mengabulkan permohonan Pemohon dengan menyatakan Penetapan Tersangka oleh Termohon sebagai tidak sah dan melawan hukum dengan segala akibat hukumnya.
Di samping itu juga perlu menyatakan apabila penentuan besarnya kerugian negara dapat juga diketahui di ujung pemeriksaan, maka apabila kepastian adanya kerugian keuangan negara ada di ujung akhir penyidikan maka penetapan tersangkanya juga harus di ujung pemeriksaan penyidikan tentu sepanjang unsur lain telah pula lengkap ditemukan alat buktinya. Hal ini mengingat karena delik yang disangkakan adalah delik materiil maka akibat yang dilarang harus terjadi, yang dengan demikian “kerugian keuangan negara” wajib ditentukan kepastiannya terlebih dahulu sebelum menetapkan seseorang (atau Pemohon) sebagai tersangka.
Menurut eksaminator, Hakim Praperadilan telah keliru dalam membuat pertimbangan hukum bahwa “Hasil Risalah, Hasil Expose Penyidik Bisa Menjadi Petunjuk dan Bukti Surat Bahwa dari Gelar Perkara Tersebut Ada Kerugian Keuangan.”
Termohon tidak sah karena terbukti bahwa Termohon terlambat menyampaikan SPDP kepada Pemohon, yaitu telah melebihi 7 hari sejak terbitnya Sprindik.
Menurut eksaminator, pertimbangan Hakim Praperadilan dalam perkara a quo yang justru menilai penyidikannya tetap sah meskipun terbukti penyerahan SPDP kepada Pemohon terlambat, hal itu tentu tidak sesuai dengan Putusan MK Nomor 130/PUU-XIII/2015 yang menyatakan bahwa penyidik wajib memberitahukan dan menyerahkan surat perintah dimulainya penyidikan kepada penuntut umum, terlapor, dan korban/pelapor dalam waktu paling lambat 7 hari setelah dikeluarkannya surat perintah penyidikan.
Dalam Putusan MK Nomor 130/PUU-XII/2015 telah menyebutkan secara jelas jika penyidik wajib memberikan SPDP kepada terlapor paling lambat 7 hari sejak dikeluarkannya Surat Perintah Penyidikan (Sprindik).
Berkaitan dengan pertimbangan hukum yang menilai bahwa penahanan terhadap tersangka (Pemohon) sudah sesuai dengan alasan obyektif dan subyektif yang ditentukan KUHAP, menurut eksaminator, perlu dilakukan reinterpretasi yang tepat terhadap interprestasi yang selama ini dilakukan yaitu sekedar alasan subyektif Penyidik yang khawatir bahwa kalau tidak ditahan Tersangka akan melarikan diri, menghilangkan bukti atau mengulang tindak pidana.
“Kalau itu semata-mata didasarkan penilaian subjektivitas penegak hukum, maka akan menimbulkan discretionary power sehingga tidak ada ukuran-ukuran yang objektif untuk menilai perlu atau tidaknya melakukan penahanan. Menurut eksaminator, alasan objektif penahanan itu lebih ditujukan pada ‘penilaian terhadap subjek hukum’ pelaku tindak pidana. Hal itu haruslah berdasar alasan-alasan objektif disertai bukti yang cukup terkait dengan kekhawatiran tersebut. (Wans)