Oleh : Denis Harsya )*

Radikalisme menjadi ancaman nyata di Indonesia yang merupakan sebuah negara yang kaya akan keberagaman. Paham radikalisme terus menyebar dari berbagai sisi bahkan efeknya merusak sendi-sendi persatuan bangsa. Kelompok radikal secara umum menginginkan adanya perubahan sosial dan politik secara drastis dengan kekerasan. Sedang, agama dijadikan sebagai modus yang kemudian dipahami secara ekstrem.

Menjelang Pemilu 2024, paham radikalisme terus disebarkan oleh oknum-oknum yang memiliki pemikiran ekstrim untuk memperluas pengaruhnya dengan merekrut mahasiswa dan kalangan pemuda sebagai kader. Radikalisme di Indonesia umumnya bermotifkan pemahaman keagamaan sehingga gampang ditunggangi oleh berbagai kepentingan karena menyangkut hal sensitif, yakni ideologi keagamaan, terutama kian menghangat suhu politik jelang Pemilu 2024.

Menghadapi kondisi ini, maka pemahaman damai dengan melibatkan pemuda dan pemuka agama melalui sebuah sikap moderat menjadi sangat penting. Kerja sama seluruh elemen masyarakat sangat diperlukan dalam melawan narasi radikal. Pemimpin agama memiliki pengaruh besar dalam masyarakat dan dapat membantu menggambarkan nilai-nilai toleransi, kedamaian, dan perdamaian dalam agama. Apalagi diperkirakan kelompok paham kekerasan ini kian intensif menyebarkan virus radikal terorisme kepada pelajar dan pemuda.

Wakil Presiden Ma’ruf Amin mengatakan bahwa gerakan radikal dan terorisme berpotensi tumbuh menjelang Pemilu 2024. Ini menjadi peringatan serius seluruh aparat penegak hukum dan masyarakat secara umum. Kelompok radikal terus memanfaatkan kondisi memanasnya tensi politik jelang Pemilu untuk menyebarkan ideologi dan propagandanya. Beberapa kelompok radikal mungkin mencoba memanfaatkan momen Pemilu untuk mengadvokasi atau mendorong ideologi mereka, bahkan dengan cara-cara yang ilegal dan berbahaya. Oleh karena itu, peran pemerintah, lembaga penegak hukum, dan masyarakat sipil dalam mewaspadai radikalisme sangat penting.

Pemilu seringkali diwarnai oleh potensi konflik dan penyebaran informasi yang tidak benar. Oleh karena itu, perlu adanya langkah-langkah preventif untuk menghadapi situasi ini. Penguatan lembaga-lembaga penegak hukum, pengawasan media, dan kampanye anti-disinformasi dapat menjadi instrumen penting dalam menjaga integritas pemilu. Sosialisasi yang intensif mengenai sanksi hukum bagi penyebar hoaks dan upaya kolaboratif antara pemerintah, media, dan masyarakat sipil dapat mengurangi dampak negatif dari disinformasi.

Wakil Ketua Komisi I DPR-RI, H. Teuku Riefky Harsya mengatakan kelompok radikal terus memperluas pengaruhnya memanfaatkan berbagai platfrom media sosial. Medsos seperti dua sisi mata uang bagi kehidupan masyarakat. Di satu sisi, medsos memberikan banyak manfaat, seperti memperluas wawasan, meningkatkan kreativitas, dan mempererat silaturahmi. Di sisi lain, medsos juga bisa menimbulkan kemudaratan, seperti menyebarkan hoaks, ujaran kebencian, dan radikalisme. Akibatnya banyak masyarakat yang bermasalah dengan hukum sesuai UU ITE.

Oleh karena itu, pihaknya mengajak masyarakat untuk memahami aturan hukum yang mengatur tentang penggunaan Medsos, seperti Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Pihaknya juga mengingatkan agar masyarakat berhati-hati dan bijak dalam menggunakan medsos, serta tidak mudah terprovokasi oleh konten-konten negatif yang ada. Terutama jelang Pemilu 2024 dimana tensi politik semakin memanas dan sangat mudah masyarakat terprovokasi oleh isu yang tidak benar.

Masyarakat diimbau untuk waspada terhadap setiap konten-konten ataupun berita berbau provokasi yang disebarkan kelompok radikal dan intoleran. Literasi diruang digital perlu terus digalakkan guna meminimalisir hoax, disinformasi, ujaran kebencian, serta radikalisme.
Aksi teror digital tersebut dilakukan dalam berbagai tujuan, yaitu ekonomi, ideologis, dan politik. Secara politik, kejahatan digital ini dilakukan dalam rangka untuk mendelegitimasi terhadap kelompok politik tertentu, mendelegitimasi konstitusi dan aparat penegak hukum, serta mendelegitimasi pemerintah dan hasil demokrasi yang konstitusional.

Kelompok radikal atau aktor asing dapat memanfaatkan media sosial dan platform online untuk menyebarkan hoaks, berita palsu, dan propaganda yang dirancang untuk menciptakan ketidakpercayaan terhadap dasar negara dan pemerintah yang berdaulat. Selain itu, kelompok radikal akan berupaya untuk mengintimidasi kelompok yang menolak atau berseberangan dengan pahamnya. Intimidasi tersebut dapat berbentuk tindakan kekerasan, ancaman, atau kampanye intimidasi.

Kasi Humas Polres Lombok Tengah, AKP Hariono mengatakan, aparat keamanan tengah gencar melaksanakan sosialisasi kepada masyarakat terkait ancaman radikalisme. Radikalisme dan Terorisme adalah musuh nyata bangsa dan negara Indonesia. Banyak dampak buruk dan negatif yang ditimbulkannya. Oleh karena itu, masyarakat diharapkan tidak terjerumus dalam gerakan radikalisme yang terus berupaya memecah pelah kerukunan antar umat beragama. Pihaknya menjelaskan Polri terus memperkuat pemahaman masyarakat tentang bahaya radikalisme dan terorisme dengan terus berusaha untuk menyambangi dan menjalin hubungan baik dengan tokoh agama dan masyarakat guna menyampaikan pesan anti radikalisme.

Maraknya pengguna media sosial sekarang ini akan mempermudah penyebaran paham radikal, sehingga diharapkan masyarakat dapat memilah dan memilih informasi yang didapat sebelum di share atau dibagikan ke khalayak umum. Seluruh elemen masyarakat beserta media dan unsur pemerintahan harus bersatu bersama mencegah dan menangkal paham radikalisme dan terorisme dari NKRI.

Upaya pencegahan dan penanggulangan radikalisme tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, melainkan juga tanggung jawab bersama seluruh elemen masyarakat. Pencegahan radikalisme akan menjadi momentum suksesnya pelaksanaan Pemilu 2024.

)* Penulis adalah mahasiswa yang tinggal di Semarang