Oleh : Doni Ramadan )*
Media sosial sebagai ruang publik berfungsi sebagai alat diskusi, pertukaran ide, dan komunikasi yang bebas dan demokratis. Tetapi jelang pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, peran tersebut terganggu dengan adanya intervensi dari pihak-pihak berkepentingan untuk memenangkan salah satu pasangan calon melalui berbagai cara seperti melakukan ujaran kebencian. Ujaran kebencian harus diwaspadai oleh seluruh elemen masyarakat karena dapat menjadi ancaman dan memunculkan disintegritasi bangsa terutama jelang pelaksanaan Pemilu 2024.
Selain itu, ujaran kebencian juga berdampak negatif bagi keberagaman dan persatuan bangsa. Hal ini sudah terbukti dan dirasakan pada Pemilu 2019 lalu, di mana politik identitas yang mengarah pada ujaran kebencian dengan membawa nama agama memunculkan polarisasi di masyarakat. Seperti munculnya istilah cebong, kampret, kadrun dan sejenisnya yang tidak sejalan dengan semangat kebhinekaan dan kerukunan bangsa Indonesia.
Pemilihan Umum (Pemilu) yang damai tanpa ujaran kebencian merupakan hal yang penting dalam rangka mewujudkan Pemilu yang berintegritas. Pemilu merupakan instrumen sekaligus wujud nyata dari demokrasi, karena melalui Pemilu, masyarakat memiliki hak untuk memilih calon pemimpin yang akan membawa bangsa Indonesia kearah yang lebih maju lagi. Selain itu, Pemilu tanpa ujaran kebencian adalah konsep yang sangat diinginkan untuk menciptakan lingkungan politik yang sehat dan beradab. Karena ujaran kebencian dapat merusak proses demokrasi dan memecah belah masyarakat, serta memicu konflik sosial yang merugikan masyarakat.
Ujaran kebencian dalam Pemilu memiliki dampak serius dan potensial merugikan pada masyarakat dan proses demokrasi. Karena ujaran kebencian dapat memperdalam pemisahan dan polarisasi di antara kelompok-kelompok masyarakat. Sehingga hal ini dapat menciptakan ketidakharmonisan dan meningkatkan konflik sosial. Selain itu, ujaran kebencian di media sosial juga dapat memengaruhi pemilih dengan memanipulasi emosi mereka, membuat mereka lebih rentan terhadap propaganda dan retorika yang ekstrem.
Selanjutnya, media sosial yang seharusnya berguna untuk menciptakan kebebasan berpendapat dan solidaritas demokrasi, justru dijadikan sebagai alat penyebaran konten ujaran kebencian untuk melemahkan opini publik bahkan terhadap “penentang” yang berbeda pandangan dan ideologi. Penyebaran konten ujaran kebencian bukan sekedar asal-asalan, iseng atau sekedar hiburan, namun bisa diasumsikan mempunyai agenda yang pasti. Sehingga ujaran kebencian di media sosial telah menjadi bagian dari panggung ekonomi politik yang sengaja dibuat oleh pihak-pihak tertentu untuk mengambil keuntungan dari wacana dan produksinya.
Selain fakta bahwa konten-konten ujaran kebencian di media sosial saat ini meresahkan masyarakat, konten-konten tersebut juga menjadi ancaman terhadap kebebasan demokratis pers sebagai ruang publik di Indonesia. Selain masyarakat kesulitan menentukan konten berita mana yang akurat dan konten berita mana yang merupakan berita bohong atau hoaks, masyarakat juga kesulitan membedakan konten berita kritis dengan konten ujaran kebencian di ruang publik. Oleh karena itu, masyarakat yang memanfaatkan ruang publik di media sosial sering kali mengandalkan informasi yang mengandung ujaran kebencian dengan cara mengunggah ulang pesan tersebut dan menyebarkan pesan tersebut melalui media sosial terkait, sehingga ujaran kebencian dapat menyebar dengan cepat dan menjangkau khalayak luas.
Sementara itu, Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo), Budi Arie Setiadi mengatakan pihaknya mengimbau kepada seluruh elemen masyarakat agar tidak menyalahgunakan media sosial demi kepentingan pribadi dan kelompok, jelang pelaksanaan Pemilu 2024. Pihaknya juga mengimbau kepada masyarakat agar mewaspadai provokasi ujaran kebencian di media sosial. Karena hal tersebut dapat mempengaruhi integritas pelaksanaan Pemilu, serta kondusifitas dan kerukunan antar masyarakat. Budi Arie berharap setiap warga negara yang memanfaatkan ekosistem platform digital turut memberikan edukasi melalui konten positif, serta mengajak untuk selalu mengingatkan antar sesama saudara dan warga di sekitar lingkungan agar tetap saling menjaga kerukunan jelang pelaksanaan Pemilu 2024.
Disisi lain, dampak ujaran kebencian bagi para korban dapat sangat berbahaya. Apalagi media sosial merupakan tempat yang terbuka sehingga ujaran kebencian yang dilontarkan dapat terlihat oleh khalayak ramai. Hal tersebut dapat menyebabkan tekanan sosial, stress, trauma, hingga bunuh diri bagi korban. Selain itu, kondisi tersebut juga dapat menyebabkan korban merasa takut berada dalam lingkungan sosial. Sehingga, korban akan memilih untuk mengisolasikan diri, mengumpat di rumah, dan tidak lagi berinteraksi. Oleh karena itu, diperlukan kesadaran lebih bagi para netizen dalam menyaring ujaran yang ingin diungkapkan.
Hal senada juga dikatakan oleh Penjabat (Pj) Gubernur Jawa Tengah (Jateng), Nana Sudjana yang mengatakan bahwa media sosial sangat berpotensi sebagai wadah terjadinya ujaran kebencian, dan provokasi yang melibatkan pendukung peserta Pemilu. Oleh karena itu, pihaknya meminta kepada masyarakat untuk lebih bijak membaca setiap informasi di media sosial agar tidak terjadi misinformasi serta tidak terprovokasi konten-konten yang mengarah kepada ujaran kebencian terkait Pemilu.
Berdasarkan pengalaman Pemilu sebelumnya, media sosial menjadi tempat yang rawan untuk penyebaran hoaks, ujaran kebencian, dan tindakan yang mengarah pada provokasi. Oleh karena itu, antisipasi dan kewaspadaan harus terus dilakukan masyarakat agar lebih pandai dan bijak dalam membaca informasi di media sosial.
Mewaspadai ujaran kebencian di media sosial juga memerlukan kolaborasi dan upaya bersama dari pemerintah, platform media sosial, partai politik, masyarakat sipil, dan individu. Serta dengan melakukan langkah-langkah kewaspadaan oleh seluruh elemen masyarakat, diharapkan dapat menciptakan ruang diskusi yang positif dan mendukung proses Pemilu yang adil dan damai.
)* Penulis adalah Pengamat Politik Dalam Negeri