Oleh: Ginea Puteri Ambarita
Pemilihan umum (Pemilu) di Indonesia bukan sekadar acara demokrasi rutin, melainkan juga momen krusial yang menguji ketahanan persaudaraan di tengah masyarakat. Saat ini, Indonesia membutuhkan tali pengikat yang kuat untuk menangkal gejolak polarisasi politik yang semakin memanas. Dalam mengawali tahun baru ini, tantangan besar mengemuka: menjadi duta perdamaian dan membangun narasi damai di tengah hiruk-pikuk perpolitikan menjelang Pemilu.
Logika suporter dalam konteks pemilu menjadi salah satu kendala utama dalam memperkuat persatuan. Carl Schurz, seorang revolusioner Jerman, pernah menegaskan, “Wrong or right is my country” (Benar atau salah, ini adalah negaraku). Ungkapan ini mencerminkan sikap fanatik yang seringkali melibatkan kebutaan terhadap kelemahan dan kesalahan negara yang kita bela. Namun, mengakui kekurangan dan kesalahan adalah langkah awal menuju perbaikan yang sesungguhnya. Memelihara logika yang memposisikan “benar adalah benar, salah adalah salah” menjadi kunci untuk menghadapi pemilu dengan integritas.
Bagi masyarakat yang bukan bagian dari tim sukses atau “full timer” pemilu, yang umumnya mendapatkan keuntungan dari berbagai bentuk proses pemilu, pertanyaan mendasar adalah: apakah kita mampu jujur kepada diri sendiri bahwa calon yang kita pilih memiliki kelemahan dan kesalahan? Tidaklah bijaksana untuk mati-matian membela calon kita, mengingat bahwa mereka adalah manusia yang pada akhirnya juga memiliki sisi yang tidak sempurna.
Di sisi lain, pentingnya membuka ruang untuk mengakui prestasi dan kebaikan dari pihak lawan tidak boleh diabaikan. Pemilu tidak boleh dipandang sebagai pertandingan biner di mana orang ditempatkan pada posisi saling berseberangan. Media sosial, yang seringkali menjadi ajang pemujaan berlebihan terhadap calon tertentu dan pengolok-olokan terhadap yang lain, perlu dihadapi dengan kepala dingin. Meskipun arus informasi di media sosial cenderung memengaruhi persepsi, kita sebagai masyarakat tetap memiliki kendali atas apa yang menjadi keputusan akhir kita. Di sinilah peran berpikir kritis membantu kita keluar dari pusaran saling menjatuhkan dan menyakiti, serta mengakui bahwa realitas seringkali berada di ruang abu-abu, bukan hitam dan putih.
Masyarakat Indonesia membutuhkan lebih banyak juru damai. Terlalu banyak pihak yang merasa berhak untuk saling menyakiti, terutama berdasarkan perbedaan pilihan politik. Dalam menghadapi Pemilu 2024, inilah saatnya untuk membangun gerakan yang mengingatkan akan pentingnya persatuan. Harapan kita adalah agar media sosial tidak hanya dipenuhi oleh upaya saling memfitnah dan menyakiti, tetapi juga berisi ajakan untuk menjaga perdamaian. Sebagaimana diungkapkan dalam pepatah Jawa, “Sing ayem wae” – kita perlu tetap tenang dan bijak.
Penting untuk mengubah paradigma bahwa Pemilu hanyalah pertarungan di mana ada pemenang dan pecundang. Sebaliknya, Pemilu seharusnya menjadi proses demokratis yang menciptakan perwakilan yang adil bagi seluruh rakyat. Masyarakat perlu berperan aktif dalam membentuk pandangan independen, tidak terpengaruh oleh euforia suporter atau serangan negatif terhadap kandidat lain.
Kementerian Komunikasi dan Informatika memberikan imbauan kepada masyarakat untuk menjadi pemilih cerdas dalam menghadapi Pemilu Damai 2024. Menghindari penyebaran hoaks dan konten negatif serta menggunakan hak pilih secara cerdas adalah langkah-langkah penting. Pemahaman yang baik tentang calon dan program yang mereka usung akan membantu masyarakat membuat keputusan yang tepat.
Pemilu 2024 dihadapi oleh banyak pemilih muda, yang mencapai lebih dari 50 persen dari total pemilih. Hal ini menunjukkan tantangan tersendiri, mengingat tingkat pemahaman politik dan maraknya hoaks di kalangan pemuda. Oleh karena itu, pentingnya literasi digital menjadi fokus utama dalam menghadapi Pemilu Damai ini.
Direktur Jenderal Aplikasi Informatika, Semuel Abrijani Pangerapan, menekankan pentingnya menjadi pemilih cerdas dan tidak terbawa hoaks. Pemahaman terhadap cara kerja ruang digital, kehati-hatian dalam menerima informasi, dan penyebaran edukasi literasi digital menjadi kunci dalam menghadapi gangguan Pemilu 2024.
Menjaga kualitas demokrasi memerlukan edukasi yang mencakup keamanan digital, etika digital, masyarakat digital, dan budaya digital. Literasi digital tidak hanya berfokus pada hoaks seputar pemilu tetapi juga menjangkau berbagai aspek kehidupan masyarakat.
Integritas pemilu menjadi prinsip utama dalam menjalankan demokrasi. Kejujuran, keadilan, dan transparansi dalam penyelenggaraan pemilu menjadi landasan yang harus dijaga. Dengan menjaga integritas pemilu, diharapkan proses demokrasi di Indonesia dapat berjalan dengan baik dan menghasilkan pemerintahan yang mewakili kehendak rakyat.
Pemilu Damai 2024 bukan hanya tanggung jawab pemerintah atau penyelenggara pemilu. Partisipasi aktif masyarakat dalam memahami calon, menilai program, dan menyebarkan pesan perdamaian di media sosial menjadi kunci keberhasilan. Dengan bersatu dalam semangat persaudaraan, Indonesia dapat melalui pemilu ini dengan damai, menciptakan masa depan yang lebih baik untuk seluruh rakyatnya.
*Penulis Merupakan Mahasiswi Magister Ilmu Politik