Oleh : Edo Wahyu Setiadi )*
Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 merupakan pesta demokrasi yang akan menentukan arah pembangunan bangsa ke depan sehingga diharapkan Indonesia dapat menjadi negara yang maju, bersatu, dan sejahtera. Untuk itu, politik identitas yang dapat menimbulkan polarisasi di masyarakat perlu dicegah. Politik identitas menjadi momok yang buruk dalam demokrasi dimanapun.
Berbagai catatan sejarah demokrasi yang mendorong pemanfaatan politik identitas untuk meraih kekuasaan berakhir pada kekacauan, ketidakstabilan pemerintahan, kemunduran demokrasi, bahkan muncul perpecahan di masyarakat dan peperangan.
Indonesia sebagai suatu negara yang sangat majemuk sangat rentan dengan isu politik identitas. Indonesia ditakdirkan hidup dengan kemajemukan suku, ras, adat istiadat, agama, budaya dan bahasa yang berbeda-beda. Setiap perbedaan berpotensi untuk didorong sebagai amunisi dalam Politik Identitas. Terlebih di Era digital, pemanfaatan sosial media dan internet yang tidak sehat akan membanjiri masyarakat dengan informasi-informasi palsu atau hoax, fitnah dan gagasan negatif untuk meraih kekuasaan tanpa mempertimbangkan keutuhan bangsa dan negara.
Oleh karena itu, politik identitas harus diwaspadai oleh seluruh elemen masyarakat karena dapat menjadi ancaman dan memunculkan disintegritasi bangsa terutama jelang pelaksanaan Pemilu 2024. Selain itu, politik identitas juga berdampak negatif bagi keberagaman dan persatuan bangsa. Hal ini sudah terbukti dan dirasakan pada Pemilu 2019 lalu, di mana politik identitas yang membawa nama agama memunculkan polarisasi di masyarakat. Seperti munculnya istilah cebong, kampret, kadrun dan sejenisnya yang tidak sejalan dengan semangat kebhinekaan dan kerukunan bangsa Indonesia.
Sementara itu, Anggota DPRD DIY, Dr. Raden Stevanus Christian Handoko mengatakan bahwa pelaksanaan pesta demokrasi yang semakin dekat seperti sekarang ini, sudah seharusnya semua pihak untuk tidak menggunakan politik identitas, serta tidak mendorong gagasan politik identitas sebagai strategi untuk mendapatkan dukungan dalam meraih kekuasaan. Politik Identitas yang digunakan dalam meraih kekuasaan akan membawa perpecahan, serta dapat menciptakan polarisasi dan ketegangan di masyarakat karena menempatkan kepentingan kelompok atau individu di atas kepentingan umum.
Dalam politik, ada pihak-pihak yang menempuh berbagai cara untuk meraup suara masyarakat. Politik identitas digunakan sekelompok orang demi ambisi ingin memenangkan kontestasi Pemilu melalui jalur pintas yang tidak elegan. Para pelaku politik identitas bahkan rela melakukan kampanye hitam melalui berita-berita bohong, hoaks, fitnah, dan kabar-kabar menyesatkan lainnya asal tujuan mereka tercapai. Mereka tidak mementingkan politik kebangsaan, tidak peduli tindakan mereka mengancam persatuan bangsa atau tidak, pokoknya asal menang, segala cara bakal mereka lakukan. Padahal, berita bohong dan fitnah yang mereka sebar membekas di hati masyarakat bertahun-tahun, bahkan sampai Pemilu telah lama usai. Selain itu, penggunaan narasi politik identitas telah sampai pada fase yang sangat sensitif, ketika relasi agama dan negara dipersoalkan lagi.
Bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dibenturkan dengan ideologi khilafah, bahkan sangat terasa ada invisible hand yang berupaya mengadu domba berbagai pihak sehingga memunculkan konflik dan perpecahan.
Hal senada juga dikatakan oleh Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Lampung, Puji Raharjo yang mengatakan bahwa politik identitas merupakan suatu bentuk politik yang menekankan pada perbedaan-perbedaan identitas seperti agama, suku, ras, dan gender dalam mencapai tujuan politiknya. Hal ini menurutnya dapat memicu konflik horizontal dan memperkeruh suasana politik di Indonesia. Selain itu, politik identitas juga dapat menimbulkan polarisasi di masyarakat, memperlemah kebersamaan nasional, dan merusak nilai-nilai toleransi dan pluralisme.
Oleh karena itu, sebagai generasi milenial harus mampu memahami bahaya politik identitas dan mempromosikan perspektif moderasi beragama. Generasi milenial juga harus aktif dalam memperjuangkan nilai-nilai toleransi dan pluralisme serta membangun kesadaran akan pentingnya beragama dengan membawa esensinya, bukan wadahnya.
Secara eksplisit, tidak ada frasa politik identitas dalam pengaturan larangan kampanye pada pemilu maupun pilkada. Namun dalam pelaksanaan Pemilu 2019 dan Pilkada DKI Jakarta 2017, politik identitas dianggap menjadi penyakit baru yang berbahaya dalam kontestasi elektabilitas calon karena berdampak polarisasi tajam ditengah masyarakat. Selain itu, yang dianggap membahayakan dari politik identitas adalah ketika mempolitisasi suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) sampai pada bentuk perbuatan dalam larangan kampanye yang membahayakan keutuhan Negara, menghina identitas lain, menghasut dan mengadu domba, atau hingga melakukan atau menganjurkan penggunaan kekerasan.
Menggunakan identitas SARA untuk menyerang lawan, menafikan keberagaman perbedaan identitas yang melekat dalam masyarakat, akan sangat membahayakan keutuhan Negara. Menganggap bahwa hanya calonnya yang mewakili identitas tertentu, dan yang paling taat dalam beragama sedangkan calon lain tidak. Sehingga akan dengan mudah membelah masyarakat pada sikap mendukung calon dengan cara ekstrim atau fanatik buta.
Oleh karena itu, untuk memastikan proses politik yang sehat dan mendukung demokrasi yang kuat, penting bagi masyarakat untuk menghindari dan menentang politik identitas. Selain itu, penting bagi masyarakat untuk mempromosikan politik yang berlandaskan pada argumen dan ideologi, serta untuk menghormati prinsip-prinsip demokrasi yang sehat. Karena hal ini akan membantu membangun masyarakat yang lebih kuat dan damai, serta menjadikan pesta demokrasi 2024 lebih bermartabat dan berintegritas.
)* Penulis adalah pengamat politik dalam negeri