Oleh: Silvia. A. Pamungkas )*

Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) bekerja sama dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Badan Nasional Penanganan Terorisme (BNPT) agar terus memantau platform digital yang memuat konten radikalisme dan terorisme. Dari hasil pantauan lembaga – lembaga tersebut, menunjukkan peningkatan signifikan penyebaran konten radikalisme.

Direktur Pencegahan yang sekaligus juru bicara Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Irfan Idris mengatakan bahwa pihak berwenang selalu melakukan pengawasan terhadap pergerakan kelompok terorisme, termasuk di media sosial yang memenuhi ciri dan kategori sebagai media sosial radikal.
BNPT memiliki tugas dan fungsi sebagai koordinator dalam berbagai upaya pencegahan paham radikal dengan kementerian dan lembaga terkait serta segenap elemen masyarakat.

Dalam media sosial, konten radikalisme memiliki ciri-ciri yang meliputi tiga hal, yaitu mengajarkan puritanisme, anti pada sistem negara, serta intoleransi Suku Agama Ras dan Antar golongan (SARA). Untuk menciptakan situasi Pemilu 2024 yang aman dan kondusif, berdasarkan laporan Direktorat Pengendalian Aplikasi Informatika Ditjen Aplikasi Informatika (Aptika) Kementerian Kominfo telah melakukan pemutusan akses atau take down terhadap 174 akun dan konten internet yang terindikasi memuat aktivitas indoktrinasi dan penyebaran paham radikalisme.

Kesigapan Kominfo untuk memutus akses konten-konten radikalisme dan terorisme sesuai dengan Undang-Undang nomor 19 tahun 2016 tentang Perubahan atas UU RI 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Menteri Kominfo, Budi Arie Setiadi Kementerian Kominfo terus melakukan pencarian konten dalam situs web atau platform dengan menggunakan Mesin Pengais Konten Negatif (AIS) setiap dua jam sekali. Selain itu, Kementerian Kominfo juga bekerja sama dengan TNI dan BNPT untuk menelusuri akun-akun yang menyebarkan konten terorisme, radikalisme, dan separatisme
Upaya penangkalan konten radikalisme, terorisme maupun hoaks diambil Kominfo untuk memastikan berlangsungnya pemilu yang produktif dan sehat bagi masyarakat Indonesia. Pihaknya tentunya bekerja sama dengan banyak pihak untuk mendiskusikan mana yang hoaks, mana yang mengandung narasi-narasi radikalisme.

Menkominfo juga berkomitmen untuk menyiapkan koordinasi lintas kementerian dan lembaga agar konten-konten bermuatan negatif tidak merusak kedamaian di ruang digital menjelang pesta demokrasi di 2024. Salah satunya, untuk penanganan konten radikalisme, Kominfo berkoordinasi dengan Kementerian Agama.

Esensi pelaksanaan pemilu adalah menyatukan sesama anak bangsa dan memberikan kontribusi bagi peningkatan kualitas demokrasi. Oleh karena itu, pemerintah mengajak masyarakat ambil bagian dan berperan untuk menjaga ruang digital yang aman dan sehat dengan membagikan konten-konten yang positif.
Sebaliknya, menurut Menteri Kominfo, masyarakat jangan percaya akan hoaks dan propaganda yang beredar di media sosial. Media sosial sengaja digunakan oleh kelompok radikal, sebagai tempat untuk mempopulerkan baik mengenai radikalisme maupun intoleransi.

Kelompok radikal paham bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia suka membuka media sosial setiap hari. Saat membuka akun media sosial maka otak dalam keadaan rileks sehingga mudah dipengaruhi. Oleh karena itu, masyarakat diimbau untuk berhati-hati di media sosial dan jangan mudah percaya akan suatu konten. Ketika ada muatan konten yang mencurigakan agar cepat dilaporkan ke aparat keamanan untuk segera ditindaklanjuti.

Aktivis media dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Inggried Dwi Wedhaswary mengatakan manipulasi yang terjadi dalam pemilu tidak hanya berkaitan dengan elektoral tetapi juga trik untuk mempengaruhi pemilih melalui penyebaran disinformasi. Sebuah akun Instagram @wienamakhanza, yang merupakan pengikut akun Salafi @onewaymuslim, memposting foto hitam putih salah seorang calon wakil presiden Mahfud MD, dengan tulisan “KUHP baru tak larang LGBT, Mahfud: Itu kodrat tidak bisa dilarang”.
Postingan dengan isu yang sama dibagikan juga di beberapa grup WhatsApp dan Telegram tertutup milik kelompok teroris.

Selain itu, ada juga narasi bahwa calon presiden Anies Bawedan menolak khilafah yang menampilkan potongan wawancaranya dengan Metro TV di masa lalu. Ada juga postingan berisikan pernyataan calon presiden Ganjar Pranowo bahwa dirinya suka menonton film porno sejak kecil, yang dilengkapi foto yang bersangkutan di sebuah acara podcast artis ternama.

Pengamat Terorisme Universitas Malikussaleh, Al Chaidar, mengatakan bahwa sejak dulu kelompok Salafi Jihadi dan Salafi Takfiri tidak pernah mau berpartisipasi secara langsung dalam pemilu. Mereka ikut menyebarkan meme, baik di grup yang tertutup dan terbatas atau di media sosial yang bersifat terbuka.

Awalnya, mereka hanya membenci seorang calon presiden karena suka menonton film porno. Mereka tidak membenci calon wakil presidennya sampai muncul pernyataan tentang LGBT menurut Al Chaidar. Mereka ingin menunggangi pemilihan umum untuk memuluskan agenda politik mereka mewujudkan negara khilafah, dengan melakukan provokasi di media sosial yang mengarah pada kekerasan dan merencanakan serangan-serangan.

Sopar Peranto, peneliti dari Habibie Center, mengatakan bahwa kecil kemungkinan kelompok yang berbaiat pada ISIS ikut mencoblos ataupun menjadi simpatisan calon presiden dan calon wakil presiden tertentu. Namun yang terjadi, mereka melakukan provokasi dan turut menggiring opini masyarakat sehingga tercipta kegaduhan yang membuat konflik di masyarakat.

Kelompok teroris dan penyebar paham radikalisme masih tetap konsisten untuk tidak mendukung pemerintahan demokrasi. Mereka memanfaatkan momentum pemilu dan isu-isu yang muncul untuk propaganda mereka. Maka dari itu kita perlu mewaspadai segala Informasi yang diterima juga menganalisa kebenaran sumber penyampai berita.

)* Penulis adalah tim redaksi Saptalika Jr. Media